Pengertian Pemidanaan
Pemidanaan adalah proses di mana seseorang atau kelompok dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana atau pelanggaran hukum dan dikenakan hukuman oleh sistem peradilan. Ini melibatkan proses pengadilan di mana bukti-bukti disajikan, argumen disampaikan, dan keputusan akhir dibuat oleh hakim atau juri.
Pemidanaan melibatkan beberapa tahapan, termasuk:
Pendakwaan: Penyelidikan dilakukan oleh pihak berwenang untuk mengumpulkan bukti-bukti terkait dugaan tindak pidana. Jika bukti cukup, tersangka dapat didakwa dan diadili di pengadilan.
Persidangan: Persidangan dilakukan di pengadilan, di mana bukti-bukti disajikan dan argumen diutarakan baik oleh jaksa penuntut maupun pengacara dari pihak terdakwa. Hakim atau juri akan mempertimbangkan semua bukti dan argumen sebelum membuat keputusan.
Vonis: Jika tersangka dinyatakan bersalah, hakim akan memberikan vonis atau hukuman yang sesuai dengan hukum yang berlaku. Hukuman tersebut dapat berupa denda, hukuman penjara, atau hukuman lainnya sesuai dengan tingkat keparahan pelanggaran yang dilakukan.
Banding: Pihak yang tidak puas dengan keputusan pengadilan dapat mengajukan banding untuk menguji keabsahan atau keadilan keputusan tersebut di pengadilan yang lebih tinggi.
Pemidanaan merupakan bagian penting dari sistem peradilan yang bertujuan untuk menegakkan hukum dan menjaga keadilan dalam masyarakat. Hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana dimaksudkan untuk memberikan efek jera, memulihkan kerugian yang disebabkan, dan mempromosikan pemulihan dan rehabilitasi, terutama dalam konteks hukuman pidana yang bertujuan untuk mengubah perilaku pelaku ke arah yang lebih positif.
Baca Juga: Integrasi Nasional: Pengertian, Faktor Pembentuk, Penghambat dan Contohnya
Sistem Pemidanaan di Indonesia
Sistem pemidanaan di suatu negara di pengaruhi oleh aliran hukum pidana yang dianut negara tersebut, KUH Pidana Indonesia menganut aliran neoklasik yaitu dengan berorientasi kepada baik perbuatan maupun orang sebab didalam KUHP masih mengenal pidana mati, adanya hal-hal yang meringankan maupun memberatkan dalam pemidanaan. Sistem pemidanaan di Indonesia menganut double track system atau sistem dua jalur yang berorientasi kepada dua jenis sanksi yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan, sistem dua jalur ini menempatkan dua jenis sanksi tersebut dalam kedudukan yang setara.
Dasar Hukum
Dasar hukum dari materi penghapus,peringan dan pemberat pidana adalah buku ke-1 BAB III KUHP tentang hal-hal yang dapat menghapuskan,mengurangi atau memberatkan pidana adalah pasal 44 sampai dengan pasal 52a KUHP. Akan tetapi sejak diundangkannya UU no 3 tahun 1997 tentang pengadilan Anak, keberadaan pasal 45,46 dan 47 KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi. Penegasan atas tidak berlakunya lagi ketiga pasal tersebut disebutkan dalam pasal 67 UU no 3 Tahun 1997 sebagai berikut :“ Pada saat mulai berlakunya undan-undang ini, maka pasal 45,46,47 kitab Undang-undang hukum pidana dinyatakan tidak berlaku lagi “.
Dasar Pemidanaan dan tujuan Pemidanaan
Dalam
bidang hukum ada adagium bahwa hukum haruslah diperkuat dengan sanksi.
Sanksi yang untuk memperkuat norma hukum adalah dengan sanksi pidana
merupakan suatu benteng terakhir. Artinya, sanksi pidana baru digunakan
apabila sanksi hukum yang lain ( seperti sanksi administrasi dan sanksi
pidana ) dirasakan tidak mampu untuk untuk menjaga atau memperkuat norma
hukum yang telah ada. Hal ini dikenal dengan istilah “ Ultimum
Remedium”.
Dari
uraian diatas menunjukkan bahwa kedudukan dari tujuan pemidanaan adalah
sebagai salah satu kunci penting dalam penjatuhan pidana itu sendiri.
Dapat juga dikatakan bahwa penjatuhan pidana haruslah memperhartikan
tujuan pemidanaan. Pentingnya perhatian tujuan pemidanaan ini tampaknya
juga ediperhatikan oleh perancang KUHP baru dengan dirumuskannya secara
tegas, tentang tujuan pemidanaan dalam buku-1 RUU KUHP. Pasal 51 51
buku-1 RUU KUHP tahun 2005 menyatakan bahwa :
- Pemidanaan bertujuan
- Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat
- Memasyarakatatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna
- Menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan
dan mendatangkan rasa damai dalam memasyarakatkan, dan :
- Membebaskan rasa bersalah pada terpidana
- Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia .
Syarat-Syarat Pemidanaan
Ada pendapat, seperti yang
dikemukakan oleh Achmad Ali “... dengan adanya sanksi atau ancaman pidana,
ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dipertahankan“. Berhubung pidana itu
merupakan sesuatu yang dirasakan tidak enak bagi terpidana. Oleh karena itu
ditentukan syarat-syarat atau ukuran-ukuran pemidanaan, baik yang menyangkut
segi perbuatan maupun yang menyangkut segi orang atau si pelaku.
Pada segi perbuatan dipakai
asas legalitas dan pada segi orang dipakai asas kesalahan. Asal legalitas
menghendaki tidak hanya adanya ketentuan-ketentuan yang pasti tentang perbuatan
yang bagaimana dapat dipidana, tetapi juga mengendaki ketentuan atau batas yang
pasti tentang pidana yang dapat dijatuhkan. Asas kesalahan menghendaki agar
hanya orang-orang yang benar bersalah sajalah yang dapat dipidana, tiada pidana
tanpa kesalahan.
Menurut Leo Polak (Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai
Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa ini), pemidanaan harus memenuhi tiga syarat, yaitu :
- Perbuatan yang dilakukan dapat dicela
sebagai suatu perbutan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan
dengan kesusilaan dan tata hukum objektif;
-
Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang
sudah terjadi. Pidana tidak boleh memperhatikan apa yang mungkin akan atau
dapat terjadi. Jadi, pidana tidak boleh dijatuhkan oleh suatu maksud
prevensi. Bila ini terjadi, maka kemungkinan besar penjahat diberikan
suatu penderitaan yang beratnya lebih daripada maksimum yang menurut
ukuran-ukuran objektif boleh diberi kepada penjahat. Menurut ukuran
objektif berarti sesuai dengan beratnya delik yang dilakukan penjahat;
-
Sudah tentu beratnya pidana
harus seimbang dengan beratnya delik. Beratnya pidana tidak boleh melebihi
beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.
Untuk menjatuhkan pidana
terhadap suatu perbuatan ialah perbuatan tersebut harus memenuhi rumusan delik
dalam undang-undang. Disamping itu, juga harus ada keyakinan hakim bahwa
perbuatan tersebut betul-betul dilakukan oleh orang yang bersalah.
Tujuan Pemidanaan
Sanksi pidana tidak memiliki tujuan tersendiri oleh Jan
Remmelink (Hukum
Pidana;Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Pidanannya
dalam KUHP Indonesia) dilukiskan sebagai berikut:Sanksi pidana tidak memiliki tujuan tersendiri yang harus
ditemukan dalam dirinya sendiri. Sanksi tersebut dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan terhadap norma. Selama norma belum dilanggar, sanksi pidana hanya
bersifat preventif. Seketika terjadi pelanggaran, daya kerjanya seketika
berubah dan sekaligus menjadi represif.Berbicara mengenai tujuan
pemidanaan, tentunya kita harus melihat teori-teori pemidanaan yang ada.
Teori-teori pemidanaan dapat dibagi kedalam tiga golongan besar yaitu, teori
pembalasan (teori absolut/distributif), teori tujuan (teori relatif), dan teori
gabungan.
Teori Pembalasan
(Absolut)
Ajaran pidana absolut dapat dikatakan sama tuanya
dengan awal pemikiran tentang pidana, namun demikian ajaran ini belum
ketinggalan zaman. Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar
pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana pada penjahat. Negara berhak
menjatuhkan pidana, karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan
perkosaan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi, masyarakat atau negara) yang
telah dilindungi. Maka oleh karena itu ia harus diberikan pidana yang setimpal
dengan perbuatan yang dilakukannya. Meskipun kecenderungan untuk membalas ini
pada prinsipnya adalah suatu gejala yang normal, akan tetapi pembalasan
tersebut harus dilihat sebagai suatu reaksi keras yang bersifat emosional dan
karena itu irasional.
Karl O.Christiansen(M. Sholehuddin,
2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana; Ide Dasar Double
Track System dan Implementasinya) mengidentifikasi lima ciri pokok dari teori
absolut, yakni:
- Tujuan pidana hanyalah sebagai
pembalasan;
- Pembalasan
adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan
lain seperti kesejahteraan masyarakat;
- Kesalahan
moral sebagai satu-satunya syarat untuk pemidanaan;
- Pidana
harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku;
- Pidana
melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan tidak untuk memperbaiki,
mendidik dan meresosialisasi pelaku.
Ada
beberapa macam dasar, pandangan atau alasan perimbangan tentang adanya
keharusan untuk diadakannya pembalasan itu, ialah :
-
Pertimbangan dari Sudut Ketuhanan
Pandangan
dari sudut keagamaan, bahwa hukum adalah suatu aturan yang bersumber pada
aturan Tuhan yang diturunkan melalui pemerintah negara sebagai abdi atau wakil
Tuhan di dunia ini, karena itu negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum
dengan cara setiap pelanggaran terhadap hukum wajib dibalas setimpal dengan
pidana terhadap pelanggarannya. Keadilan ketuhanan yang dicantumkan dalam
undang-undang duniawi harus dihormati secara mutlak, dan barang siapa yang
melangar harus dipidana oleh wakil Tuhan di dunia ini, yakni pemerintahan
negara. Pemerintahan negara harus menjatuhkan dan menjalankan pidana
sekeras-kerasnya bagi pelanggaran atas keadilan ketuhanan itu. Pidana adalah
merupakan suatu penjelmaan duniawi dari keadilan Tuhan tersebut. Pandangan
berdasarkan sudut ke-Tuhanan ini dianut oleh Thomas van Aquino, Sthal dan
Rambonet.
-
Pandangan dari Sudut Etika
Pandangan ini berasal dari Immanuel Kant. Dalam pandangan
Kant bahwa menurut ratio tiap
kejahatan itu haruslah diikuti oleh pidana. Menjatuhkan pidana adalah sesuatu
yang dituntut oleh keadilan etis yang merupakan syarat etika. Pemerintah negara
mempunyai hak untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana dalam rangka memenuhi
keharusan yang dituntut oleh etika tersebut. Pembalasan melalui pidana ini
harus dilaksanakan pada setiap pelanggar hukum, walaupun tidak ada manfaat bagi
masyarakat maupun yang bersangkutan. Karena pembalasan dari
pidana ini didasarkan pada etika, maka teori Kant ini disebut dengan de ethische vergeldings theorie.
Leo Polak tidak dapat menerima teori Kant, karena teori
itu menggambarkan pidana sebagai suatu paksaan belaka, bukankah bagi siapa saja
yang bertujuan mempertahankan kehendaknya sudah cukup melakukan paksaan saja ?
Etika dan sebagainya tidak perlu diperhatikan. Akan tetapi, pidana itu harus
bersifat suatu penderitaan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada etika.
Pidana itu bukan penderitaan, karena pidana hendak memaksa. Sebaliknya, pidana
itu bersifat memaksa supaya pidana itu dapat dirasakan sebagai suatu
penderitaan.
-
Pandangan Alam Pikiran Dialektika
Pandangan ini berasal dari Hegel dengan teori
dialektikanya dalam segala gejala yang ada di dunia ini. Atas dasar pikiran
yang demikian, maka pidana mutlak harus ada sebagai reaksi dari setiap
kejahatan. Hukum atau keadilan adalah merupakan suatu kenyataan (sebagai these). Jika seorang melakukan kejahatan
atau penyerangan terhadap keadilan, berarti ia mengingkari kenyataan adanya
hukum (anti these), oleh karena
itulah harus diikuti oleh suatu pidana berupa ketidakadilan terhadap pelakunya
(synthese) untuk mengembalikan
menjadi suatu keadilan atau kembali tegaknya hukum (these). Karena pandangan Hegel ini didsarkan pada alam pikiran
dialektika, maka teorinya disebut dengan de
dialektische vergeldings theorie.
-
Pandangan
Aesthetica dari Herbart
Pandangan yang berasal dari Herbart ini berpokok pangkal
pada pikiran bahwa apabila kejahatan tidak dibalas maka akan menimbulkan rasa
ketidakpuasan pada masyarakat. Agar kepuasan masyarakat dapat dicapai atau
dipulihkan, maka dari sudut aesthetica
harus dibalas dengan penjatuhan pidana yang setimpal pada penjahat pelakunya.
Setimpal artinya harus dirasakan sebagai penderitaan yang sama berat atau
besarnya dengan penderitaan korban/masyarakat yang diakibatkan oleh kejahatan
itu. Karena pandangan Herbart ini didasarkan pada aesthica, maka disebut dengan de
aesthica theorie.
Pandangan
dalam hal pidana yang berupa pembalasan menurut Heymans didasarkan pada niat
pelaku. Setiap niat yang tidak bertentangan dengan kesusilaan,
dapat dan layak diberikan kepuasan. Tidak diberi kepuasan ini adalah berupa
penderitaan yang adil. Segala sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan tidak
boleh dicapai orang, dan atas dasar inilah Heymans menerangkan unsur pembalasan
di dalam pidana dengan memberi penderitaan kepada penjahat.
Menurut Leo Polak, pandangan
Heymans ini adalah tidak bersifat membalas pada apa yang telah terjadi, tetapi
penderitaan itu lebih bersifat pencegahan. Teori ini bukan suatu teori
pembalasan sepenuhnya.
Teori ini didasarkan pada asas keseimbangan.
Dikemukakannya mengenai pembagian syarat-syarat untuk mendapatkan keuntungan
dan kerugian, maka terhadap hukum tiap-tiap anggota masyarakat mempunyai
kedudukan yang sama dan sederajat. Tetapi mereka yang sanggup mengadakan syarat
istimewa juga akan mendapatkan keuntungan dan kerugian itu.
Berdasarkan pemikiran semacam inilah, maka bila seseorang
berbuat kejahatan yang berarti ia membuat suatu penderitaan istimewa bagi orang
lain, maka sudah seimbanglah bahwa penjahat itu diberi penderitaan istimewa
yang besarnya sama dengan besarnya penderitaan yang telah dilakukan terhadap
orang lain.
Teori Tujuan (Relatif)
Ajaran absolut mengajarkan
bahwa pidana diniscayakan oleh kejahatan yang terjadi dan sebab itu negara dengan
satu dan lain cara mendapat pembenaran untuk menjatuhkan pidana.Pandangan berbeda kita temukan dalam
ajaran relatif. Pidana dalam konteks ajaran ini dipandang sebagai upaya atau
sarana pembelaan diri. Berbeda dengan ajaran absolut, di dalam ajaran relatif,
hubungan antara ketidakadilan dan pidana bukanlah hubungan yang ditegaskan
secara a-priori. Hubungan antara
keduanya dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai pidana yaitu perlindungan
kebendaan hukum dan penangkal ketidakadilan atau tertib di dalam masyarakat.
Menurut Karl O. Christensen
ada berapa ciri pokok dari teori relatif ini, yaitu:
-
Tujuan pidana adalah
pencegahan;
- Pencegahan bukan tujuan
akhir tetapi sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu
kesehjetaraan masyarakat;
-
Hanya
pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja,
misalnya kesengajaan atau kelalaian yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
-
Pidana harus ditetapkan
berdasarkan tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan;
-
Pidana melihat ke depan atau
bersifat prospektif, ia mengandung unsur pencelaan maupun unsur pembalasan
tidak dapat diterima bila tak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan
kesehjeteraan masyarakat.
Untuk mencapai tujuan
ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat, yaitu;
Bersifat menakut-nakuti, bersifat memperbaiki dan bersifat membinasakan.Sedangkan sifat
pencegahannya dari teori ini ada dua macam, yaitu pencegahan umum dan
pencegahan khusus.
1. Pencegahan Umum
Penganut teori ini adalah Seneca yang berpandangan bahwa
supaya khalayak ramai dapat menjadi takut untuk melakukan kejahatan, maka perlu
dibuat pidana yang ganas dengan eksekusinya yang sangat kejam dengan dilakukan
di muka umum, agar setiap orang akan mengatahuinya. Tujuan mengancam atau
membuat takut (dalam rangka pencegahan) tersebut dikembangkan oleh Paul Johann
Anselm von Feuerbach (1755-1833) sekalipun dalam konteks yang berbeda. Teori
Feuerbach tentang paksaan psikologis, yang menjadi dasar penamaan teorinya
tersebut, mengendaki penjeraan tidak melalui pengenaan pidana (yang merupakan
akibat dari tujuan pidana), namun melalui ancaman pidana di dalam
perundang-undangan yang sebab itu pula harus mencantumkan secara tegas
kejahatan dan pidana (yang diancamkan terhadapnya).
Sedangkan menurut Nico Muller, pencegahan kejahatan bukan
terletak pada eksekusi yang kejam maupun pada ancaman pidana akan tetapi pada
penjatuhan pidana incongerito oleh
hakim. Dengan tujuan memberi rasa takut kepada penjahat tertentu, maka hakim
diperkenankan menjatuhkan pidana yang beratnya melebihi beratnya ancaman
pidananya. Maksudnya agar penjahat serupa lainnya menjadi shock, terkejut kemudian menjadi sadar bahwa perbuatan seperti itu
dapat diajatuhi pidana yang berat dan ia menjadi takut untuk melakukan
perbuatan yang serupa.
2. Pencegahan Khusus
Menurut teori ini, tujuan pidana ialah mencegah pelaku
kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulangi lagi melakukan
kejahatan, dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak
mewujudkan niatnya itu kedalam bentuk perbuatan nyata. Tujuan ini dapat dicapai
dengan jalan menjatuhkan pidana yang bersifat menakut-nakuti, memperbaiki dan
membuatnya menjadi tidak berdaya. Penganut teori ini adalah, van Hammel yang
berpandangan bahwa pencegahan umum dan pembalasan tidak boleh dijadikan tujuan
dan alasan dari penjatuhan pidana.
Teori Gabungan
Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas
pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua
alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat
dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu:
- Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas
dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat dipertahankannya tata tertib
masyarakat.
-
Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,
tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada
perbuatan yang dilakukan terpidana.
- Teori menggabungkan yang menanggap kedua asas tersebut harus
dititik beratkan sama.
Baca Juga: Hujan Salju Adalah Pengertian, Fungsi, Manfaat, Jenis, Akibat & Proses Terjadinya Terlengkap
Demikian Penjelasan Tentang Pengertian Pemidanaan Adalah: Dasar Pemidanaan, Syarat-Syarat, Tujuan, Beserta Teori Pemidanaan . Jangan Lupa selalu kunjungi referensisiswa.my.id untuk mendapatkan Artikel Lainnya. Terimakasih
Penelusuran yang terkait dengan Pemidanaan
- tujuan pemidanaan
- teori pemidanaan
- pengertian pidana dan pemidanaan
- contoh pidana dan pemidanaan
- contoh pemidanaan
- makalah pidana dan pemidanaan
- sistem pemidanaan
- pertanyaan tentang pidana dan pemidanaan
Post a Comment