Pengertian Hubungan kerja
Hubungan kerja merujuk pada interaksi antara pekerja (baik individu maupun kelompok) dengan majikan atau pemberi kerja dalam konteks lingkungan kerja. Ini mencakup berbagai aspek hubungan antara pekerja dan majikan, termasuk kontrak kerja, hak dan kewajiban, komunikasi, kebijakan perusahaan, serta isu-isu lain yang berkaitan dengan tenaga kerja.
Beberapa unsur yang terkait dengan konsep hubungan kerja meliputi:
Kontrak Kerja: Hubungan kerja sering kali didasarkan pada kontrak kerja yang menetapkan hak, kewajiban, dan kondisi kerja antara pekerja dan majikan. Kontrak tersebut bisa bersifat tertulis atau tersirat, dan mencakup berbagai hal seperti gaji, jam kerja, cuti, dan hak-hak lainnya.
Kepemimpinan dan Manajemen: Hubungan kerja juga mencakup interaksi antara manajemen dan pekerja, termasuk pengaturan kerja, supervisi, evaluasi kinerja, dan komunikasi antar pihak.
Pengembangan dan Pelatihan: Majikan bertanggung jawab untuk memberikan pelatihan dan pengembangan kepada pekerja agar mereka dapat mengembangkan keterampilan dan meningkatkan kinerja mereka. Hubungan kerja yang baik dapat mendorong investasi dalam pengembangan karyawan.
Kesejahteraan dan Keseimbangan Kerja-Hidup: Majikan juga bertanggung jawab untuk memastikan kesejahteraan karyawan dan menciptakan lingkungan kerja yang seimbang, termasuk menyediakan manfaat, program kesehatan, dan dukungan untuk mencapai keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi.
Komunikasi dan Partisipasi: Hubungan kerja yang efektif membutuhkan komunikasi yang terbuka dan partisipasi dari kedua belah pihak, di mana pekerja memiliki kesempatan untuk menyampaikan pendapat, masukan, dan kekhawatiran mereka kepada manajemen.
Hubungan kerja yang baik adalah kunci untuk menciptakan lingkungan kerja yang produktif, memotivasi, dan berkelanjutan. Dengan memperhatikan kebutuhan dan harapan karyawan serta menjaga komunikasi yang efektif antara manajemen dan pekerja, majikan dapat membangun hubungan kerja yang positif dan mendukung bagi semua pihak yang terlibat.
Hubungan kerja pada dasarnya meliputi hal-hal mengenai:
- Pembuatan Perjanjian Kerja (merupakan titik tolak adanya suatu hubungan kerja)
- Kewajiban Pekerja (yaitu melakukan pekerjaan, sekaligus merupakan hak dari pengusaha atas pekerjaan tersebut)
- Kewajiban Pengusaha (yaitu membayar upah kepada pekerja, sekaligus merupakan hak dari si pekerja atas upah)
- Berakhirnya Hubungan Kerja
- Cara Penyelesaian Perselisihan antara pihak-pihak yang bersangkutan
Baca Juga: Integrasi Nasional: Pengertian, Faktor Pembentuk, Penghambat dan Contohnya
Jenis - Jenis Hubungan Kerja
Berdasarkan
UU No. 13 Tahun 2003, yang dimaksud dengan Hubungan Kerja adalah
hubungan antara Pengusaha dengan Pekerja/ buruh berdasarkan Perjanjian
Kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, & perintah. Perjanjian Kerja dibuat atas dasar:
- Adanya kesepakatan kedua belah pihak;
- Kemampuan atau kecakapaan melakukan perbuatan hukum;
- Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
- Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, & peraturan perundang undangan yang berlaku
Dalam pelaksanaannya,
Perjanjian Kerja wajib dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dan menggunakan huruf latin, serta sekurang-kurangnya memuat:
- Nama, alamat perusahaan, & jenis usaha;
- Nama, jenis kelamin, umur, & alamat pekerja/buruh;
- Jabatan atau jenis pekerjaan;
- Tempat pekerjaan;
- Besarnya upah & cara pembayarannya;
- Syarat-syarat kerja yang memuat hak & kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
- Mulai dan jangka waktu berlakunya Perjanjian Kerja;
- Tempat dan tanggal Perjanjian Kerja dibuat;
- Tanda tangan para pihak dalam Perjanjian Kerja.
Di Republik Indonesia
sendiri, secara hukum Perjanjian Kerja dibagi atas dua jenis
perjanjian, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau
biasa disebut perjanjian karyawan tetap dan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) yang biasa disebut sebagai perjanjian karyawan kontrak;
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu/ PKWTT
Pada dasarnya PKWTT ditujukan untuk
pekerjaan yang sifatnya tetap dan berlangsung secara terus-menerus. Oleh
karena itu, PKWTT memperbolehkan adanya masa percobaan kerja selama
maksimal 3 (tiga) bulan. Perlu diingat, dalam kurun waktu masa percobaan
tersebut, Perusahaan dilarang untuk membayar upah di bawah upah minimum
yang berlaku.
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Berbeda dengan PKWTT yang dapat
mensyaratkan adanya masa percobaan, PKWT tidak dapat mensyaratkan adanya
masa percobaan kerja dan hanya ditujukan untuk pekerjaan yang sifatnya
temporer atau musiman, yaitu:
- Pekerjaan sekali selesai atau sifatnya sementara, contoh: pemasaran produk dalam event pameran;
- Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
- Pekerjaan yang bersifat musiman, yaitu pekerjaan pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca; atau
- Pekerjaan Berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Selain itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam PKWT, yaitu:
- PKWT dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)
tahun.
- Pengusaha yang bermaksud memperpanjang PKWT tersebut, paling lama 7
(tujuh) hari sebelum PKWT berakhir telah memberitahukan maksudnya secara
tertulis kepada pekerja/ buruh yang bersangkutan.
- Pembaruan PKWT hanya dapat diadakan untuk jenis pekerjaan yang
sekali selesai atau sifatnya sementara, setelah melebihi masa tenggang
waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya PKWT yang lama. Pembaruan PKWT
ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
- PKWT yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud di atas,
maka demi hukum menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu/ PKWTT.
- PKWT juga perlu dicatatkan Pengusaha kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat, selambat-lambatnya
7 hari kerja sejak penandatanganan.
Dari kedua kategori
hubungan kerja di atas, maka penting bagi pimpinan perusahaan dan
jajaran manajemen untuk dapat menerapkan bentuk-bentuk Perjanjian Kerja
dan konsekuensinya masing-masing sesuai peraturan perundangan yang
berlaku, sehingga Pengusaha dapat mengelola praktik hubungan industrial
di Perusahaannya dengan baik.
Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka
14 adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi
kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah
pihak. Perjanjian kerja pada dasarnya harus memuat pula
ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja itu, yaitu hak
dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan.
Selanjutnya perihal pengertian perjanjian kerja, ada lagi pendapat
Subekti beliau menyatakan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian
antara seorang buruh dengan majikan, perjanjian mana ditandai oleh
ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan
adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda “dierstverhanding”)
yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak
memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain
(buruh).1
Perjanjian kerja yang didasarkan pada pengertian Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak disebutkan bentuk perjanjiannya
tertulis atau lisan; demikian juga mengenai jangka waktunya ditentukan
atau tidak sebagaiman sebelumnya diatur dalam Undang-undang Nomor 25
Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
Bagi perjanjian kerja tidak dimintakan bentuk yang tertentu. Jadi dapat
dilakukan secara lisan, dengan surat pengangkatan oleh pihak pengusaha
atau secara tertulis, yaitu surat perjanjian yang ditandatangani oleh
kedua belah pihak. Undang-undang hanya menetapkan bahwa jika perjanjian
diadakan secara tertulis, biaya surat dan biaya tambahan lainnya harus
dipikul oleh pengusaha. Apalagi perjanjian yang diadakan secara lisan,
perjanjian yang dibuat tertulispun biasanya diadakan dengan singkat
sekali, tidak memuat semua hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, maka perjanjian kerja harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasl 1320
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Per). Ketentuan ini juga tertuang
dalam pasal 52 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas
dasar:
- Kesepakatan kedua belah pihak;
- Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
- Adanya pekerjaan yang dijanjkan;
- Pekerjaan
yang dijanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang
mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian kerja harus setuju atau sepakat, setia-sekata mengenai
hal-hal yang diperjanjkan. Apa yang dikehendaki pihak yang satu
dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang
ditawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk
dipekerjakan.
Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian
maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian.
Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan
telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan
umur minimal 18 tahun (Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan). Selain itu seseorang dikatakan cakap
membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwanya atau
waras.
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah pasal 1320 KUH Per
adalah hal tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan obyek dari
perjanjian kerja anatar pekerja dengan pengusaha, yang akibat hukumnya
melahirkan hak dan kewajiban para pihak.
Obyek perjanjian (pekerjaan) harus halal yakni tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jenis pekerjaan
yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang
harus disebutkan secara jelas.
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi
semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat
kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah
pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai
syarat subyektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat
perjanjian, sedangkan syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan
pekerjaan yang diperjanjikan harus halal disebut sebagai syarat obyektif
karena menyangkut obyek perjanjian. Kalau syarat obyektif tidak
dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum artinya dari semula
perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika yang tidak dipenuhi
syarat subyektif, maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat
dibatalkan, pihak yang tidak memberikan persetujuan secara tidak bebas,
demikian juga oleh orang tua/wali atau pengampu bagi orang yang tidak
cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan perjanjian itu kepada
hakim. Dengan demikian perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum
selama belum dibatalkan oleh hakim.
Unsur-unsur yang Ada dalam Suatu Perjanjian Kerja
-
Adanya unsur work atau pekerjaan
Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan
(obyek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh
pekerja, hanya dengan seizin pengusaha dapat menyuruh orang lain. Hal
ini dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1603a yang
berbunyi:“Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya”.Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena
bersangkutan dengan ketrampilan atau keahliannya, maka menurut hukum
jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi
hukum.
Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha
adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha
untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Di sinilah
perbedaan hubungan kerja dengan hubungan lainnya, misalnya hubungan
antara dokter dengan pasien, pengacara dengan klien. Hubungan tersebut
merupakan hubungan kerja karena dokter, pengacara tidak tunduk pada
perintah pasien atau klien.
Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja),
bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja bekerja pada
pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur
upah, maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja.
Seperti seorang narapidana yang diharuskan untuk melakukan pekerjaan
tertentu, seorang mahasiswa perhotelan yang sedang melakukan praktik
lapangan di hotel.
Yang hendak ditunjuk oleh perkataan waktu tertentu atau zekere tijd
sebagai unsur yang harus ada dalam perjanjian kerja adalah bahwa
hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja tidak berlangsung
terus-menerus atau abadi. Jadi bukan waktu tertentu yang dikaitkan
dengan lamanya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja. Waktu
tertentu tersebut dapat ditetapkan dalam perjanjian kerja, dapat pula
tidak ditetapkan. Di samping itu, waktu tertentu tersebut, meskipun
tidak ditetapkan dalam perjanjian kerja mungkin pula didasarkan pada
peraturan perundang-undangan atau kebiasaan.jangka waktu perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu bagi
hubungan kerja yang dibatasi jangka waktu berlakunya, dan waktu tidak
tertentu bagi hubungan kerja yang tidak dibatasi jangka waktu berlakunya
atau selesainya pekerjaan tertentu.Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu lazimnya disebut
dengan perjanjian kerja kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap.
Status pekerjanya adalah pekerja tidak tetap atau pekerja kontrak.
Sedangkan untuk perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tidak tertentu
biasanya disebut dengan perjanjian kerja tetap dan status pekerjanya
adalah pekerja tetap.
Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara
tertulis (Pasal 57 Ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan). Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau
menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan berakhirnya
kontrak kerja. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak boleh
mensyaratkan adanya masa percobaan.
Dalam Pasal 59 Ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu
hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat
atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
- Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
- Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
- Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
- Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Baca Juga: Batuan Sedimen Adalah - Pengertian, Sifat, Proses, Jenisnya dan Cotoh Batuan Sedimen
Demikian Penjelasan Tentang Pengertian Hubungan kerja Adalah : Jenis - Jenis, Perjanjian Kerja dan Unsur-unsur yang Ada dalam Suatu Perjanjian Kerja. Jangan Lupa selalu kunjungi referensisiswa.my.id untuk mendapatkan Artikel Lainnya. Terimakasih
Penelusuran yang terkait dengan Pengertian Hubungan Kerja
- pengertian perjanjian kerja
- pengertian hubungan industrial
- unsur-unsur hubungan kerja
- contoh hubungan kerja
- makalah hubungan kerja
- pengertian pemutusan hubungan kerja
- dasar hukum hubungan kerja adalah
- pemutusan hubungan kerja adalah
Post a Comment