Undang-Undang Tentang Pornografi Meliputi Pembuatan, Penyimpanan, Memfasilitasi, Menyebarkan Beserta Hukumannya
Table of Contents
Pengertian Pornografi
Pornografi (dari bahasa Yunani πορνογραφία pornographia — secara harafiah tulisan tentang atau gambar tentang pelacur) (kadang kala juga disingkat menjadi "porn," "pr0n," atau "porno") adalah penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksualitas manusia secara terbuka (eksplisit) dengan tujuan membangkitkan berahi (gairah seksual). Pornografi berbeda dari erotika. Dapat dikatakan, pornografi adalah bentuk ekstrem/vulgar dari erotika. Erotika sendiri adalah penjabaran fisik dari konsep-konsep erotisme. Kalangan industri pornografi kerap kali menggunakan istilah erotika dengan motif eufemisme namun mengakibatkan kekacauan pemahaman di kalangan masyarakat umum.
Pornografi dapat menggunakan berbagai media — teks tertulis maupun lisan, foto-foto, ukiran, gambar, gambar bergerak (termasuk animasi), dan suara seperti misalnya suara orang yang bernapas tersengal-sengal. Film porno menggabungkan gambar yang bergerak, teks erotik yang diucapkan dan/atau suara-suara erotik lainnya, sementara majalah sering kali menggabungkan foto dan teks tertulis. Novel dan cerita pendek menyajikan teks tertulis, kadang-kadang dengan ilustrasi. Suatu pertunjukan hidup pun dapat disebut porno.
Pornografi dapat menggunakan berbagai media — teks tertulis maupun lisan, foto-foto, ukiran, gambar, gambar bergerak (termasuk animasi), dan suara seperti misalnya suara orang yang bernapas tersengal-sengal. Film porno menggabungkan gambar yang bergerak, teks erotik yang diucapkan dan/atau suara-suara erotik lainnya, sementara majalah sering kali menggabungkan foto dan teks tertulis. Novel dan cerita pendek menyajikan teks tertulis, kadang-kadang dengan ilustrasi. Suatu pertunjukan hidup pun dapat disebut porno.
Definisi dan Ruang Lingkup Pornografi
Berbicara mengenai pornografi, telah ada beberapa undang-undang yang mengatur substansi yang dimaksud, antara lain:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”);
- Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”);
- Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU 44/2008”)
Dalam Bab XIV KUHP diatur tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan,
tetapi tidak diatur mengenai definisi kesusilaan. Demikian juga dengan
UU ITE. Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur larangan mendistribusikan,
mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Dari ketiga undang-undang yang dimaksud, UU 44/2008 lebih jelas memberikan definisi mengenai Pornografi, yaitu gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, definisi tersebut dapat diterapkan dalam diskusi ini.
Secara Teoritis Normatif, foto atau rekaman video hubungan seksual disebut Pornografi apabila foto atau rekaman tersebut melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 mengatur larangan perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
Dari ketiga undang-undang yang dimaksud, UU 44/2008 lebih jelas memberikan definisi mengenai Pornografi, yaitu gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, definisi tersebut dapat diterapkan dalam diskusi ini.
Secara Teoritis Normatif, foto atau rekaman video hubungan seksual disebut Pornografi apabila foto atau rekaman tersebut melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 mengatur larangan perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
- persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
- kekerasan seksual;
- masturbasi atau onani;
- ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
- alat kelamin; atau
- pornografi anak
Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 tentang Pornografi disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri
dan kepentingan sendiri.
Dalam hal pria atau wanita melakukan pengambilan gambar atau perekaman hubungan seksual mereka tanpa diketahui oleh wanita atau pria pasangannya, atau tanpa persetujuannya, maka pembuatan video tersebut melanggar Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008. Persetujuan (consent) merupakan bagian yang sangat vital dalam menentukan adanya pelanggaran atau tidak.
Apabila wanita sebelumnya telah memberikan pernyataan tegas bahwa ia setuju membuat pornografi tetapi tidak mengizinkan pria untuk mengungkap atau menyebarkan Pornografi tersebut maka wanita memiliki posisi yang lebih kuat untuk tidak dipersalahkan sebagai turut serta penyebaran pornografi. Demikian juga apabila wanita memang sejak awal tidak mengetahui adanya pembuatan foto atau video Pornografi, atau tidak memberikan persetujuan terhadap pembuatan Pornografi tersebut, maka dalam hal ini, wanita tersebut dapat disebut sebagai korban penyebaran konten Pornografi.
Menimbulkan pertanyaan apakah video atau foto Porno tersebut yang dibuat oleh pria dan wanita juga dilarang? Salah satu interpretasi yang mungkin ialah sebagai berikut.
Pembuatan Pornografi
Dalam hal pria dan wanita saling memberikan persetujuan untuk perekaman video seksual mareka dan foto serta video tersebut hanya digunakan untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam pengecualian dalam Pasal 44/2008 maka tindakan pembuatan dan penyimpanan yang dimaksud tidak termasuk dalam ruang lingkup “membuat” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU Pornografi.Dalam hal pria atau wanita melakukan pengambilan gambar atau perekaman hubungan seksual mereka tanpa diketahui oleh wanita atau pria pasangannya, atau tanpa persetujuannya, maka pembuatan video tersebut melanggar Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008. Persetujuan (consent) merupakan bagian yang sangat vital dalam menentukan adanya pelanggaran atau tidak.
Diseminasi atau Distribusi Pornografi
Dalam hal pembuatan foto atau video disetujui oleh para pihak maka penyebaran oleh salah satu pihak dapat membuat pihak lain terjerat ketentuan pidana, sepanjang pihak itu tidak secara tegas memberikan larangan untuk penyebarannya. Sebagai contoh apabila pria dan wanita sepakat atau saling memberikan persetujuan untuk pembuatan foto atau rekaman Pornografi, kemudian pria menyebarkan Pornografi, tetapi wanita sebelumnya tidak memberikan pernyataan tegas untuk melarang pria untuk menyebarkan atau mengungkap Pornografi tersebut maka wanita dapat terjerat tindak pidana penyebaran Pornografi.Apabila wanita sebelumnya telah memberikan pernyataan tegas bahwa ia setuju membuat pornografi tetapi tidak mengizinkan pria untuk mengungkap atau menyebarkan Pornografi tersebut maka wanita memiliki posisi yang lebih kuat untuk tidak dipersalahkan sebagai turut serta penyebaran pornografi. Demikian juga apabila wanita memang sejak awal tidak mengetahui adanya pembuatan foto atau video Pornografi, atau tidak memberikan persetujuan terhadap pembuatan Pornografi tersebut, maka dalam hal ini, wanita tersebut dapat disebut sebagai korban penyebaran konten Pornografi.
Penyimpanan Produk Pornografi
Pasal 6 UU 44/2008 mengatur bahwa setiap orang dilarang..., memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.Menimbulkan pertanyaan apakah video atau foto Porno tersebut yang dibuat oleh pria dan wanita juga dilarang? Salah satu interpretasi yang mungkin ialah sebagai berikut.
- Dalam hal pria dan wanita telah saling memberikan persetujuan
terlebih dahulu maka penyimpanan atau pemilikan Pornografi tersebut
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses membuat dan hal ini
masuk dalam kategori pengecualian yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 4
ayat (1) UU 44/2008.
Secara teknis, umumnya, setelah video atau foto dibuat, secara otomatis akan disimpan dalam sistem penyimpanan yang ada di dalam media elektronik. Oleh karena itu, secara hukum, apabila dalam satu kesatuan proses, menjadi tidak logis apabila pembuatan diperbolehkan tetapi penyimpanan atau pemilikan dilarang. - Apabila dalam hal salah satu pihak tidak memberikan persetujuan terlebih dahulu, maka penyimpanan atau pemilikannya menjadi dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU 44/2008.
Memfasilitasi Pornografi
Pasal 7 UU 44/2008 mengatur bahwa setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Apakah tindakan pria atau wanita yang memberikan persetujuan kepada wanita atau pria dalam pembuatan pornografi termasuk memfasilitasi Pornografi Interpretasi yang mungkin ialah bahwa sepanjang wanita atau pria yang telah memberikan persetujuan itu terlibat di dalam foto atau video pornografi tersebut maka, ia tidak dapat dianggap sebagai memfasilitasi perbuatan Pornografi.Penyebaran Pornografi
Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur:
Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan.
Ancaman pidana terhadap pelanggar diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU 19/2016, yaitu:
Setiap
Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 1 miliar.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi bahwa
tindakan membuat atau menyebarluaskan Pornografi merupakan tindakan
yang dilarang. Ancaman terhadap pasal ini diatur dalam Pasal 29 UU Pornografi yaitu:
Setiap
orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
pidana denda paling sedikit Rp 250 juta dan paling banyak Rp 6 miliar.
UU Pornografi adalah lex specialis (hukum yang khusus) dari UU ITE dan KUHP dalam kejahatan pornografi melalui internet. Di Indonesia banyak sekali terjadi kasus-kasus yang berkaitan dengan pornografi dan seksual. Kasus-kasus tersebut bertambah banyak seiring dengan mulainya rakyat Indonesia mengenal internet dan juga kemudahan dalam megakses internet itu sendiri. Untuk menanggulangi hal ini, Pemerintah Indonesia membuat beberapa peraturan yang diharapkan dapat mengurangi masalah ini. Peraturan-peraturan atau perundang-undangannya adalah sebagai berikut:
Pasal 282 KUHP Mengenai Kejahatan Terhadap Kesusilaan
Penyebarluasan muatan pornografi melalui internet tidak diatur secara khusus dalam KUHP. Dalam KUHP juga tidak dikenal istilah/kejahatan pornografi. Namun, ada pasal KUHP yang bisa dikenakan untuk perbuatan ini, yaitu pasal 282 KUHP mengenai kejahatan terhadap kesusilaan.
“Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah”
Pasal 27 Ayat (1) UU ITE
Dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga tidak ada istilah pornografi, tetapi “Muatan Yang Melanggar Kesusilaan”. Penyebarluasan muatan yang melanggar kesusilaan melalui internet diatur dalam pasal 27 ayat (1) UU ITE mengenai Perbuatan yang Dilarang, yaitu;
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Pelanggaran terhadap pasal 27 ayat (1) UU ITE dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 milyar (pasal 45 ayat [1] UU ITE). Dalam pasal 53 UU ITE, dinyatakan bahwa seluruh peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya dinyatakan tetap berlaku, selama tidak bertentangan dengan UU ITE tersebut.
UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi (UU Pornografi)
Undang-undang yang secara tegas mengatur mengenai pornografi adalah UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi). Pengertian pornografi menurut pasal 1 angka 1 UU Pornografi adalah:
“… gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”
Pelarangan penyebarluasan muatan pornografi, termasuk melalui di internet, diatur dalam pasal 4 ayat (1) UU Pornografi, yaitu “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
- persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
- kekerasan seksual;
- masturbasi atau onani;
- ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
- alat kelamin; atau
- pornografi anak.”
Pelanggaran pasal 4 ayat (1) UU Pornografi diancam pidana
penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau
pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp6 miliar
(pasal 29 UU Pornografi). Pasal 44 UU Pornografi menyatakan bahwa pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan
yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Ringkasan Hukuman bagi Penyebar Konten Porno
1. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
Dalam UU ini, berbagai penjelasan tentang Pornografi
telah disediakan mulai dari definisi hingga perlindungan anak. Berbagai
peran pemerintah hingga masyarakat pun juga diatur dalam UU tersebut.
2. Ancaman hukuman Pasal 29 UU Pornografi
Dalam Bab VII UU Pornografi tahun 2008 tersebut diatur pula hukuman pidana bagi pelaku penyebaran konten Pornografi. Dalam pasal 29 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
tersebut, pelaku penyebaran dapat dipenjara paling singkat 6 bulan dan
paling lama 12 tahun. Tak hanya itu, pelaku penyebaran juga bisa didenda
minimal Rp250 juta dan maksimal Rp6 miliar.
3. UU No. 19 Tahun 2016 dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
UU ini adalah bentuk pembaruan dari UU Nomor 11 tentang ITE yang
disahkan pada tahun 2008 lalu. Peraturan ini sendiri mengatur berbagai
informasi eletronik di Indonesia, termasuk salah satunya adalah konten Pornografi.
4. Pasal 27 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE
Landasan hukum yang juga digunakan dalam menangani penyebaran konten Pornografi
adalah Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE.
UU tersebut mengatur siapa pun yang secara sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan atau membuat akses dokumen atau informasi elektronik
tentang Pornografi dianggap melanggar kesusilaan.
5. Ancaman hukuman Pasal 45 ayat (1) UU ITE
Ancaman hukuman bagi para pelaku yang dimaksud dalam pasal 27 ayat
(1) tersebut diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2016 tentang
ITE. Dalam pasal tersebut, pelaku penyebaran dapat dipidana dengan Penjara paling lama selama 6 tahun dan maksimal denda Rp1 miliar.
Penelusuran yang terkait dengan Hukuman penyebar pornografi
- pasal penyebaran video
- undang-undang tentang fotografi
- uu ite
- uu ite tentang penyebaran video tanpa izin
- uu ite tentang penyebaran video kekerasan
- menyebarkan video tanpa izin
- pasal 27 ayat (1) uu ite
- pasal 45 ayat (1) uu ite
- Navigasi Halaman
Post a Comment